DILEMA PRESIDENTIAL THRESHOLD: PILAR DEMOKRASI ATAU LUMBUNG OLIGARKI (PASCA PUTUSAN MK NOMOR 62/PUU-XII/2024)

Ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, merupakan salah satu isu kontroversial dalam sistem demokrasi Indonesia. Ketentuan ini mensyaratkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. Tujuannya, menurut pembuat undang-undang, adalah untuk menyederhanakan proses politik dan memastikan pasangan calon memiliki dukungan politik yang kuat. Namun, aturan ini sering kali dianggap sebagai hambatan bagi demokrasi yang inklusif, terutama karena membatasi partisipasi partai kecil dan kandidat independent (Nasution et al., 2024). Dalam konteks ini, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XII/2024 menjadi babak baru dalam perdebatan mengenai presidential threshold, karena membatalkan ketentuan tersebut dengan alasan bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.

Dalam perspektif teori hukum kedaulatan, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi. Konsep ini mencerminkan prinsip bahwa segala keputusan dan kebijakan publik, termasuk aturan dalam pemilihan presiden, harus mencerminkan aspirasi dan kepentingan rakyat secara langsung. Presidential threshold yang membatasi akses partai-partai politik tertentu untuk mencalonkan kandidat, dianggap bertentangan dengan prinsip ini. Dengan membatasi pilihan calon yang dapat diakses rakyat, aturan ini mengurangi ruang partisipasi politik dan mengabaikan hak konstitusional rakyat (Wilwatikta et al., 2025). Sejalan dengan teori kedaulatan, separation of power atau pemisahan kekuasaan pada prinsipnya berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara cabang-cabang pemerintahan: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam konteks pembatalan Pasal 222 UU Pemilu, Mahkamah Konstitusi (sebagai lembaga yudikatif) menjalankan perannya untuk mengontrol agar undang-undang yang dibuat oleh legislatif tidak bertentangan dengan konstitusi. Keputusan Mahkamah ini mencerminkan prinsip bahwa kedaulatan rakyat harus menjadi pedoman utama dalam pengambilan kebijakan politik.

Teori elektoral menjelaskan bahwa sistem pemilu harus dirancang untuk menciptakan partisipasi yang inklusif, kompetisi yang sehat, dan representasi yang adil. Dalam praktiknya, presidential threshold dianggap bertentangan dengan prinsip ini karena membatasi akses bagi partai kecil dan kandidat independen untuk mencalonkan diri. Threshold ini juga mempersempit kompetisi politik, yang justru bertentangan dengan semangat demokrasi yang seharusnya membuka peluang seluas-luasnya bagi semua elemen masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu. Di sisi lain, pendukung presidential threshold berargumen bahwa aturan ini penting untuk memastikan stabilitas politik, dimana tanpa ambang batas, pemilu akan diwarnai oleh terlalu banyak kandidat yang dapat membingungkan pemilih dan melemahkan legitimasi pemenang. Namun, argumentasi ini sering kali dikritik karena lebih berpihak pada kepentingan partai besar dan mengabaikan realitas politik yang lebih kompleks.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XII/2024 membatalkan Pasal 222 UU Pemilu dengan alasan bahwa presidential threshold melanggar prinsip kedaulatan rakyat yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Mayoritas Hakim dalam keputusan ini menekankan bahwa aturan ini menciptakan ketidakadilan politik, di mana partai-partai kecil tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. Mahkamah juga menilai bahwa presidential threshold menciptakan ketimpangan dalam representasi politik karena suara rakyat pada pemilu legislatif sebelumnya digunakan untuk menentukan batas pencalonan presiden, yang sebenarnya tidak relevan dengan pemilu presiden yang sedang berlangsung. Namun, dua hakim menyampaikan dissenting opinion atau pendapat berbeda dengan argumen bahwa presidential threshold merupakan bagian dari kebijakan hukum yang berada dalam kewenangan pembuat undang-undang. Kedua hakim ini menilai bahwa penghapusan aturan ini berpotensi menciptakan fragmentasi politik yang berlebihan, di mana terlalu banyak kandidat akan menyebabkan pemilu yang tidak efektif dan mengurangi stabilitas politik (Majid et al., 2023).

Putusan Mahkamah Konstitusi ini memunculkan argumen pro dan kontra yang signifikan. Pendukung putusan ini melihat penghapusan presidential threshold sebagai langkah maju untuk memperkuat demokrasi Indonesia. Bahwa keputusan ini membuka ruang kompetisi politik yang lebih inklusif dan memungkinkan semua partai, baik besar maupun kecil, untuk mencalonkan pasangan calon. Ini sejalan dengan semangat demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip partisipasi rakyat dan keadilan politik. Namun, dari sisi yang lain ada kekhawatiran bahwa tanpa presidential threshold, pemilu akan menjadi terlalu terbuka dan berisiko menciptakan fragmentasi politik. Terlalu banyak kandidat dapat membingungkan pemilih dan memperpanjang proses pemilu jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh mayoritas suara. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa penghapusan aturan ini akan melemahkan stabilitas politik karena koalisi yang terbentuk setelah pemilu cenderung rapuh dan sulit mencapai kesepakatan.

Sebagai bagian dari diskursus demokrasi, presidential threshold perlu dilihat dalam kerangka keadilan politik dan kedaulatan rakyat. Putusan MK Nomor 62/PUU-XII/2024 harus dilihat sebagai langkah yang tepat untuk memperbaiki sistem pemilu di Indonesia. Dalam pandangan penulis, putusan MK ini adalah langkah progresif yang mendukung cita-cita demokrasi dimana keberhasilannya akan sangat bergantung pada implementasi yang tepat. Demokrasi sudah seharusnya memberi ruang bagi semua elemen masyarakat untuk berpartisipasi secara adil. Rakyat berhak untuk menentukan sendiri pasangan calon yang mereka anggap layak, tanpa harus dibatasi oleh kepentingan partai besar. Dengan demikian untuk menciptakan sistem pemilu yang lebih inklusif harus diiringi dengan reformasi mendasar dalam budaya politik Indonesia. Partai politik harus memperkuat kualitas kaderisasi dan integritas internalnya agar calon yang diajukan benar-benar memiliki kapasitas dan kompetensi untuk memimpin dengan baik. Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat perlu ditingkatkan. Harapannya tentu ketika masyarakat memiliki pendidikan politik yang memadai akan dapat memilih secara cerdas dan berdasarkan pertimbangan rasional. 

Pemerintah juga memiliki peran penting dalam memastikan bahwa proses pemilu berjalan transparan dan adil, serta menciptakan mekanisme pemilu yang mampu menjaga stabilitas politik tanpa mengorbankan prinsip demokrasi. Regulasi teknis terkait pencalonan dan pelaksanaan pemilu perlu dirancang secara matang agar tidak memicu konflik atau ketidakpastian. Selain itu, pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan pemilu, terutama dalam konteks implementasi penghapusan ambang batas, menjadi krusial untuk menghindari praktik-praktik curang. Dengan demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat benar-benar menjadi langkah menuju demokrasi yang lebih matang. 

Sumber : https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=994

Scroll to Top