Ibadah haji merupakan salah satu ibadah utama bagi umat Islam sebagai bagian dari Rukun Islam yakni “menunaikan haji bagi yang mampu”, dan juga dapat melakukan perjalanan ibadah umrah sebagai perjalanan religius ke tanah suci. Antusiasme masyarakat Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah dari tahun ketahun semakin tinggi, namun untuk ibadah haji ada ketentuan kuota jumlah jamaah yang menjadi jatah bagi setiap negara untuk memberangkatkan warganya melaksanakan ibadah haji yang telah ditetapkan oleh Kerajaan Arab Saudi, sehingga pemerintah Indonesia dan negara lainnya harus menyesuaikan, oleh karenanya kemudian maka pemerintah membentuk pengaturan dalam suatu sistem sedemikian rupa guna mengakomodir kepentingan dan menyelenggarakan pelayanan pelaksanaan ibadah haji baik secara reguler maupun secara khusus termasuk mengatur pelaksanaan perjalanan ibadah umrah dengan tujuan agar tercipta suatu ketertiban dan keadilan dalam pelaksanaannya. Didalam prakteknya penyelenggaraan ibadah haji reguler dilaksanakan oleh Pemerintah yang dijalankan oleh Kementerian Agama. Sementara Pelaksanaan Ibadah Haji Khusus dilakukan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan pelaksanaan perjalanan Ibadah Umrah dilakukan oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Pemerintah kemudian membentuk Peraturan perundang-undangan dan instrumen lainnya guna mewujudkan pengaturan tersebut, termasuk mengatur ketentuan pidana didalam undang-undang dimana dirumuskan perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana terkait dengan larangan dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, yang kemudian dilengkapi dengan perangkat untuk menegakkan ketentuan pidana tersebut.
Dalam hal diduga terjadi pelanggaran atas ketentuan larangan dan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Haji dan Umrah maka kewenangan penyidikan selain Penyidik Kepolisian Negara Indonesia diberikan kepada Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Kementerian Agama yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hukum acara pidana. Kewenangan sebagaimana dimaksud tercantum dalam Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah beserta perubahannya.
Larangan dan Ketentuan Pidana Dalam Perundang-Undangan Haji Dan Umrah
Pemerintah mengatur penyelenggaraan ibadah haji dan umrah dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pada Bab XI tentang Larangan , diatur dalam beberapa Pasal yakni Pasal 113 sampai dengan Pasal 119 , serta Bab XII tentang Ketentuan Pidana diatur dalam Pasal 120 sampai Pasal 126 yang diuraikan sebagai berikut :
- Pasal 113: “Setiap orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai penerima setoran Bipih”.
Bipih adalah singkatan dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji, yakni sejumlah uang yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji. Yang berwenang menerima setoran Bipih adalah Bank yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama setelah memenuhi persyaratan administratif dan melalui proses seleksi, verifikasi, dan visitasi.
Ketentuan Pidana diatur dalam Pasal 120 : “Setiap orang yang tanpa hak bertindak sebagai penerima pembayaran Bipih, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah)”. - Pasal 114 : “Setiap orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai PIHK dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Haji Khusus”.
PIHK adalah singkatan dari Penyelenggara Ibadah Haji Khusus. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh penyelenggara Ibadah Haji Khusus dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat khusus. PIHK adalah Biro Perjalanan yang telah mendapat izin Menteri Agama Untuk menyelenggarakan Ibadah Haji Khusus. Pemerintah melalui Kementerian Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah Dan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.
Ketentuan Pidana diatur dalam Pasal 121 : “Setiap orang yang tanpa hak bertindak sebagai PIHK dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Haji Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah)”. - Pasal 115: “Setiap orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah”.
PPIU adalah singkatan dari Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah. Yakni biro perjalanan wisata yang memiliki izin dari Menteri Agama untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah.
Ketentuan Pidana diatur dalam Pasal 122 : “Setiap orang yang tanpa hak bertindak sebagai PPIU dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah, sebagaiomana dimaksud dalam Pasal 115 dipidan dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah)”. - Pasal 116: “Setiap orang dilarang memperjual belikan kuota Haji Indonesia”.
Arab Saudi setiap tahunnya menentukan kuota haji secara keseluruhan umumnya di kisaran 1,5 hingga 2 juta jemaah. Angka tersebut kemudian dibagi untuk Arab Saudi memperoleh kuota 15 persen dari total kuota, sementara 85 persen sisanya diberikan kepada negara-negara lainnya, termasuk di dalamnya Indonesia.
Ketentuan Pidana diatur dalam Pasal 123 : “Setiap orang yang memperjualbelikan Kuota Haji Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan milyar rupiah)”. - Pasal 117; “Setiap orang dilarang tanpa hak melakukan perbuatan mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah umrah”.
Ketentuan Pidana diatur dalam Pasal 124 : ”Setiap orang yang tanpa hak mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan milyar rupiah)”. - Pasal 118; “PIHK dilarang melakukan perbuatan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus”.
Ketentuan Pidana diatur dalam Pasal 125 ; “PIHK yang dengan sengaja menyebabkan kegagaan keberangkatan, penelantaran, atau kgagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). - Pasal 119: “PPIU dilarang melakukan perbuatan yang menybabkan kegagalan keberangkatan, penelantarn, atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah.
Ketentuan Pidana diatur dalam Pasal 126: “PPIU yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Dari Ketentuan Larangan yang diikuti oleh ketentuan pidana sebagaimana diuraikan diatas nampak bahwa konteks pelanggaran pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dikategorikan yakni adanya perbuatan tapa hak, perbuatan Memperjual belikan kuota haji, perbuatan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus dan/atau Jemaah Umrah. Yang mana perbuatan tersebut diancam dengan Pidana Penjara antara 4 (empat) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun dan denda antara 4 (empat) milyar rupiah. Dengan adanya pengaturan ketentuan pidana tersebut diharapkan dapat menekan terjadinya praktek penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang merugikan masyarakat dan merusak kredibilitas Indonesia dimata dunia khususnya Kerajaan Arab Saudi sebagai negara tujuan ibadah haji dan Umrah.
Sumber : https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=1003