Ribuan Titik Jumlah Tambang Ilegal, Cermin Rapuhnya Sistem Hukum Indonesia
Peraturan hukum yang ada dinilai telah kehilangan daya paksa dan gagal menimbulkan efek jera.

Maraknya praktik tambang ilegal yang merugikan negara telah mencerminkan lemahnya efektivitas hukum di Indonesia. Presiden Prabowo Subianto menyebutkan terdapat 1.063 titik aktivitas tambang ilegal yang berpotensi merugikan negara minimal Rp300 triliun.
“Kita akan tertibkan tambang-tambang yang melanggar aturan,” kata Prabowo saat memberikan pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR, Jumat (15/8/2025) kemarin.
Dia meminta dukungan dari para legislator melindungi sumber daya alam (SDA) di Indonesia. Serta, memberikan peringatan bagi para petinggi-petinggi di Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan mantan jenderal untuk tidak menjadi ‘backing’ para pelaku tambang ilegal.
“Saya beri peringatan. Tidak ada alasan, kami akan bertindak atas nama rakyat,” tegasnya.
“Hukum hanya akan berjalan efektif apabila tiga aspek utama, yakni struktur, substansi, dan kultur hukum, berfungsi dengan baik. Dalam kasus tambang ilegal, ketiga aspek itu justru menunjukkan kelemahan,” ujar Bayu melalui keterangannya, Senin (18/8/2025).
Menurutnya, kelemahan paling nyata adalah koordinasi antar-lembaga penegak hukum. Kewenangan antara penegakan hukum (Gakkum) Kementerian ESDM, kepolisian, dan kejaksaan kerap tumpang tindih sehingga menimbulkan kebingungan dalam penindakan.
Padahal, regulasi yang ada telah cukup memadai. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan telah mengatur sanksi pidana dan denda berat bagi pelaku penambangan tanpa izin. Namun, aturan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penindakan kerap hanya menyasar pelaku lapangan, sementara aktor-aktor besar yang menjadi otak atau pelindung tambang ilegal masih luput dari jerat hukum.
“Hal ini menyebabkan aturan yang ada kehilangan daya paksa dan gagal menimbulkan efek jera,” jelasnya.
Dalam aspek kultur hukum, di sejumlah daerah, tambang ilegal dianggap sebagai hal yang biasa karena memberikan keuntungan ekonomi jangka pendek bagi masyarakat. Kultur pembiaran bahkan terjadi di kalangan aparat yang seharusnya menegakkan hukum, sehingga praktik ilegal justry mendapat perlindungan.
“Kondisi ini pada akhirnya membuat hukum kehilangan wibawa dan masyarakat terbiasa hidup dalam pelanggaran,” imbuh Bayu.
Bayu berpandangan permasalahan tambang ilegal hanya bisa diatasi jika reformasi dilakukan secara menyeluruh di tiga aspek hukum tersebut. Diantaranya, dengan penegakan hukum lintas sektor harus diperkuat melalui koordinasi yang solid, aturan hukum harus dijalankan tanpa pandang bulu hingga ke aktor-aktor besar, dan perubahan kultur hukum perlu didorong dengan transparansi, partisipasi publik, serta pemberdayaan masyarakat.
“Jangan sampai hukum hanya menjadi simbol formalitas tanpa daya paksa. Pemerintah harus berani melakukan pembenahan serius. Jika hal ini bisa dilaksanakan maka akan menjadi kado terindah bagi 80 tahun kemerdekaan Indonesia,” tuturnya.
Senada, anggota Komisi III DPR Martin Daniel Tumbelaka pun mengatakan bahwa keberhasilan penindakan aktivitas tambang ilegal sangat bergantung pada koordinasi antar-lembaga penegak hukum. Integrasi antara kepolisian, kejaksaan, dan lembaga terkait perlu diperkuat agar penegakan hukum dapat berjalan cepat.
“Pertambangan ilegal ini bukan pelanggaran kecil. Harus dihadapi dengan langkah hukum yang tegas dan konsisten,” kata Martin.
Oleh karena itu, dia menyatakan dukungan penuh terhadap Presiden Prabowo untuk menindak tegas aktivitas tambang ilegal di Indonesia. Penegakan hukum pun perlu digalakkan sebagai kunci dalam memutus rantai kejahatan yang telah merugikan negara.
Apa Kata Allex:
Aktivitas tambang ilegal diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 3/2020), serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Pengaturan dan Larangan Tambang Ilegal:
Setiap kegiatan pertambangan wajib memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU 3/2020. Jenis izin yang dimaksud meliputi IUP, IUPK, IPR, SIPB, dan izin-izin lain sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (3) UU 3/2020.
Kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) dilarang keras. Pasal 158 UU 3/2020 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar
Selain sanksi pidana, pelaku tambang ilegal dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan, dan/atau pencabutan izin sebagaimana diatur dalam Pasal 151 ayat (2) UU 3/2020.
Dalam kawasan hutan, Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 melarang setiap orang membawa alat berat, melakukan penambangan, mengangkut, menjual, menguasai, memiliki, menyimpan, membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU 18/2013 dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 90 dan Pasal 91 UU 18/2013, dengan ancaman pidana penjara dan denda yang berat, baik untuk perorangan maupun korporasi.
Sanksi Tambahan dan Penegakan Hukum:
Selain sanksi pokok, pelaku tambang ilegal dapat dikenai pidana tambahan berupa perampasan barang yang digunakan, perampasan keuntungan, dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 162 dan Pasal 164 UU 3/2020.
Penegakan hukum terhadap tambang ilegal juga melibatkan penyidik pegawai negeri sipil di bidang pertambangan dan kehutanan, sesuai dengan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi untuk sektor migas, dan ketentuan serupa di sektor minerba.
Kesimpulan Pengaturan:
Seluruh aktivitas pertambangan tanpa izin merupakan tindak pidana dan/atau pelanggaran administratif yang dapat dikenai sanksi berat, baik pidana maupun administratif, sesuai dengan ketentuan UU 3/2020 dan UU 18/2013.
Pengaturan ini bertujuan untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, perlindungan lingkungan, serta mencegah kerugian negara dan masyarakat akibat aktivitas tambang ilegal.