Membangun Ekosistem Ekonomi Kreatif dan Adil Melalui Penegakan Hak Cipta dalam Kerangka Asta Cita

Hak cipta adalah salah satu bentuk perlindungan hukum atas kekayaan intelektual manusia yang dituangkan dalam bentuk nyata. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) Pasal 1 angka 1, “Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Salah satu kekayaan intelektual manusia yang diwujudkan dalam bentuk nyata adalah karya seni seperti musik, lukisan, sastra, film, dan pertunjukan. Dalam konteks karya seni, hak cipta memberikan jaminan dan perlindungan hukum kepada pencipta bahwa pencipta memiliki hak untuk mengumumkan, memperbanyak, dan mendapatkan manfaat ekonomi dari karya ciptaannya. Tidak hanya melindungi aspek ekonomi, perlindungan ini juga menjamin hak moral yang melekat pada pencipta, seperti hak untuk diakui sebagai pembuat karya dan hak untuk menjaga integritas ciptaannya. 

Sesuai dengan bunyi Pasal 4 UU Hak Cipta “Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.” Di dalam perkembangan industri kreatif yang semakin pesat, kesadaran akan pentingnya hak cipta sangatlah krusial. Hal ini agar tidak terjadi eksploitasi atau pelanggaran yang merugikan pencipta. Namun sayangnya, masih banyak kasus karya seni yang digunakan tanpa izin. Pada akhirnya hal ini akan memicu sengketa hukum dan merusak ekosistem ekonomi kreatif.

Seiring dengan meningkatnya kemudahan akses dan distribusi karya melalui media digital, pelanggaran hak cipta juga tumbuh menjadi persoalan serius di Indonesia. Kasus pelanggaran hak cipta yang dilaporkan terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Data Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri sejak 2016 hingga Mei 2023 mencatat, kepolisian seluruh Indonesia menangani 349 laporan terkait hak cipta. Jumlah itu menempati urutan kedua pelanggaran hak kekayaan intelektual yang banyak dilaporkan setelah pelanggaran hak merek dengan 725 laporan. Lainnya, ada 46 laporan desain industri, 23 laporan rahasia dagang, dan 21 laporan paten (Kurnia, 2023). Kondisi ini menunjukkan perlunya upaya lebih serius dari pemerintah, pelaku industri kreatif, serta masyarakat untuk memperkuat perlindungan dan edukasi mengenai hak cipta sebagai bagian dari penghargaan atas karya intelektual bangsa.

Sanksi Pidana

Sanksi pidana terhadap pelanggaran hak cipta diatur secara tegas dalam UU Hak Cipta, yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pencipta dan pemilik hak cipta dari segala bentuk penyalahgunaan atau eksploitasi tanpa izin. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi pidana berupa hukuman penjara, denda, atau keduanya tergantung pada tingkat pelanggaran yang dilakukan.

Salah satu ketentuan penting dapat ditemukan dalam UU Hak Cipta Pasal 113 ayat (3) dan (4), yang menetapkan bahwa:

(3)  Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran terhadap hak ekonomi pencipta, seperti memperbanyak, menyebarluaskan, atau mengeksploitasi karya cipta milik orang lain tanpa izin, dapat dikenai pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4)  Jika perbuatan tersebut dilakukan dalam skala komersial, sanksi meningkat menjadi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Selain sanksi pidana, pelanggar juga dapat dikenai tuntutan perdata oleh pemilik hak cipta atas kerugian yang timbul akibat pelanggaran tersebut. Hak ini dapat digunakan untuk menuntut ganti rugi, penghentian penggunaan karya secara tidak sah, dan tindakan pemulihan nama baik pencipta.

Penerapan sanksi ini menunjukkan bahwa pelanggaran hak cipta merupakan tindakan serius yang tidak hanya berdampak pada kerugian ekonomi, tetapi juga melanggar hak moral pencipta. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap individu atau badan usaha yang ingin menggunakan karya orang lain untuk terlebih dahulu mendapatkan izin atau lisensi resmi guna menghindari konsekuensi hukum yang berat.

Kasus Pelanggaran Hak Cipta: Vidi Aldiano dan Lagu “Nuansa Bening”

Dua musisi senior Indonesia, Keenan Nasution dan Budi Pekerti, menggugat penyanyi Vidi Aldiano ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas dugaan pelanggaran hak cipta atas lagu legendaris Nuansa Bening. Gugatan tersebut tercatat dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat dengan nomor perkara 51/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2025/PN Niaga Jkt.Pst.

Melalui kuasa hukumnya, Minola Sebayang, kedua pencipta lagu tersebut menuntut ganti rugi sebesar Rp 24,5 miliar. Gugatan ini didasarkan pada dugaan bahwa Vidi Aldiano telah menyanyikan lagu Nuansa Bening tanpa izin resmi dalam 31 konser langsung. Menurut Minola, meskipun lagu tersebut kemungkinan telah dibawakan ratusan kali di berbagai acara komersial, dalam gugatan hanya disertakan 31 penampilan sebagai bukti.

Selain tuntutan ganti rugi, penggugat juga meminta penyitaan aset milik Vidi Aldiano, yakni rumah dan tanah yang berada di kawasan Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Menanggapi gugatan ini, Vidi Aldiano telah menunjuk 15 pengacara untuk membela dirinya. Namun salah satu pengacara dari tim tersebut, Sordame Purba, belum memberikan pernyataan kepada media dan menyatakan bahwa pihaknya masih mempelajari perkara tersebut.

Kasus ini menambah daftar panjang sengketa Hak Cipta antara penyanyi dan pencipta lagu di industri musik Indonesia. Perkara ini sekaligus menyoroti pentingnya perizinan penggunaan karya cipta dalam setiap penampilan komersial (Dewi, 2025).

Dalam kasus dugaan pelanggaran hak cipta atas lagu “Nuansa Bening”, selain gugatan perdata tergugat juga dapat dikenakan sanksi pidana. Vidi Aldiano berpotensi melanggar Pasal 113 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang mengatur bahwa setiap orang yang tanpa hak menggunakan ciptaan untuk tujuan komersial seperti menampilkan lagu dalam konser dapat dipidana dengan penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda hingga Rp1 miliar. Pelanggaran ini berkaitan dengan hak ekonomi pencipta, khususnya hak untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dan d.

Penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta merupakan fondasi penting dalam menciptakan lingkungan yang adil dan kondusif bagi pertumbuhan industri kreatif di Indonesia. Ketika para pencipta merasa karya mereka dihargai dan dilindungi secara hukum, maka akan tumbuh kepercayaan yang mendorong produktivitas serta inovasi yang berkelanjutan. Sebaliknya, jika pelanggaran hak cipta dibiarkan tanpa penanganan serius, hal ini tidak hanya merugikan pencipta dari sisi ekonomi dan moral, tetapi juga melemahkan semangat kreatif di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, ketegasan dalam menindak pelanggaran baik dalam bentuk reproduksi ilegal, penggunaan tanpa izin, maupun eksploitasi komersial tanpa lisensi perlu menjadi prioritas dalam sistem penegakan hukum nasional.

Upaya ini selaras dengan arah pembangunan nasional yang menempatkan kreativitas sebagai pilar strategis dalam membangun ekonomi berbasis pengetahuan. Melalui penguatan perlindungan hukum di bidang kekayaan intelektual, pemerintah tidak hanya menjamin hak individu, tetapi juga menata ulang struktur ekonomi ke arah yang lebih berorientasi pada nilai tambah dari gagasan, inovasi, dan karya budaya. Inilah yang menjadi bagian dari cita-cita besar dalam memperkuat karakter bangsa melalui keberdayaan sumber daya manusia kreatif. Perlindungan terhadap hak cipta menjadi simbol keberpihakan negara terhadap kerja keras, imajinasi, dan keunikan intelektual warganya. Namun, hingga kini pemahaman mengenai hak kekayaan intelektual belum merata di seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya, masih banyak individu yang belum menyadari adanya konsekuensi hukum yang dapat timbul akibat penggunaan karya berhak cipta tanpa izin dari pemiliknya.

Dengan menciptakan sistem hukum yang responsif terhadap dinamika industri kreatif, Indonesia dapat membangun ekosistem yang mampu bersaing di kancah global. Langkah ini tidak hanya mendukung pencipta dalam mengekspresikan diri secara bebas dan aman, tetapi juga menciptakan ruang yang mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis budaya dan kreativitas. Maka dari itu, pembenahan sistem penegakan hukum hak cipta bukan semata tugas teknis legal, melainkan bagian dari strategi jangka panjang dalam memperkuat fondasi bangsa yang berdaya cipta dan berdaya saing.

Pemerintah juga perlu meningkatkan upaya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menghormati hak cipta sebagai bagian dari perlindungan hak kekayaan intelektual. Langkah ini menjadi krusial untuk membangun kesadaran hukum, sehingga masyarakat memahami bahwa pelanggaran terhadap hak cipta bukan hanya merugikan pencipta karya, tetapi juga dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang serius. Melalui pendekatan yang terstruktur dan berkelanjutan, diharapkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya memperoleh izin sebelum menggunakan karya milik orang lain.

sumber : https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=1042

Scroll to Top