TINJAUAN HUKUM TERHADAP LARANGAN PENGGUNAAN COIN DIGITAL SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN DAN PENGAKUANNYA SEBAGAI KOMODITAS DI INDONESIA

Ekonomi di era modern saat ini telah memanfaatkan teknologi untuk berbagai macam kebutuhan. Banyak dari kalangan anak kecil, muda sampai dewasa yang dapat mengakses internet untuk memperoleh infomasi terbaru secara realtime (Riswanto, dkk, 2024). Semakin majunya teknologi juga berpengaruh besar terhadap bidang ekonomi, khususnya dalam hal transaksi keuangan. Para pedagang dapat memanfaatkan kemajuan teknologi dengan menerapkan sistem transfer yang lebih efisien dibandingankan menggunakan uang tunai (Dharma, dkk, 2024). Kemajuan teknologi digital telah melahirkan inovasi dalam sistem pembayaran dan transaksi keuangan, salah satunya melalui kehadiran koin digital atau yang lebih dikenal sebagai cryptocurrency. Aset digital ini pada dasarnya merupakan representasi nilai yang terdesentralisasi, tidak diatur oleh otoritas moneter, serta menggunakan teknologi blockchain untuk menjamin keamanannya (Nakamoto, 2008). Cryptocurrency muncul sebagai solusi untuk masalah sistem pembayaran saat ini yang sangat bergantung pada pihak ketiga sebagai penerbit produk pembayaran yang dapat dipercaya untuk mengelola transaksi digital, seperti visa, mastercardpaypal, dan lainnya.

Cryptocurrency merupakan mata uang digital yang dibangun menggunakan teknologi blockchain dan dipastikan keamanannya melalui teknik kriptografi. Cryptocurrency menggunakan struktur blockchain yang tersentralisasi secara global dan bersifat anonim, sehingga transaksi dapat dilakukan dengan aman dan tanpa kepercayaan kepada otoritas tunggal (Chan et al., 2020).

Secara umum, cryptocurrency didefinisikan sebagai alat pembayaran berbasis digital yang memanfaatkan buku besar terdistro (distributed ledger), dimana pencatatan transaksi dikunci oleh kriptografi dan divevrifikasi melalui mekanisme consensus, seperti proof of work atau proof of stake. Mekanisme onsensus adalah metode yang digunakan oleh jaringan blockchain untuk menyetujui validitas transaksi dan memastikan bahwa semua node (komputer dalam jaringan) memiliki salinan data yang sama dan sah. Mekanisme ini memastikan bahwa tidaka da pihak tunggal yang dapat memanipulasi transaksi atau membuat unit baru sepihak (Saleh, F: 2021). Berikut adalah perbandingan kedua mekanisme tersebut (Gervais, A. et.al, 2016):

1.      Proof of Work

a.      Pemilihan blok berdasarkan kekuatan komputasi.

b.      Konsumsi energi tinggi.

c.       Kecepatan lambat.

d.      Keamanan tinggi, jika jarigannya besar.

Contohnya: Bitcoin dan Litecoin.

2.      Proof of Stake

a.      Pemilihan blok bedasarkan jumlah yang di stake.

b.      Konsumsis energi rendah.

c.       Kecepatan lebih cepat.

d.      Keamanan tinggi, tapi tergantung desain jaringan.

Contohnya: Ethereum, Cardano, Solana.

Sejak Bitcoin diperkenalkan, pasar cryptocurrency telah berkembang pesat, dianggap sebagai “financial technology” penting oleh berbagai institusi global. Selain sebagai alat pembayaran, kripto kini juga diperdagangkan secara luas sebagai aset investasi dengan profil risiko dan imbal hasil yang tinggi (Harahap, 2020).

Di Indonesia, keberadaan koin digital menimbulkan dualitas dalam pendekatan hukum. Pertama, koin digital sebagai alat pembayaran tetapi berdasarkan ketentuan perundang-undangan masyarakat diwajibkan menggunakan rupiah dalam setiap transaksi di wilayah NKRI sehingga koin digital dilarang dipergunakan untuk transaksi. Kedua, koin digital sebagai aset boleh diperdagangkan sebagai komoditas di pasar berjangka tetapi di bawah pengawasan Bappebti.

Fenomena ini menimbulkan persoalan hukum tentang dasar legal dari pelarangan fungsi pembayaran, serta peraturan hukum yang membolehkan perdagangan koin digital sebagai komoditas. Berdasarkan kedua kondisi tersebut penulis akan melakukan kajian dan analisis terhadap peraturan yang telah berlaku.

1. Koin Digital dan Fungsi Pembayaran dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki ciri tertentu, gambar pahlawan nasional, dan tanda tangan pejabat yang berwenang. Lebih lanjut, Pasal 21 ayat (1) menegaskan bahwa: “Setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan rupiah.”

Penggunaan alat pembayaran selain rupiah dalam transaksi domestik dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum. Dalam konteks ini, Bank Indonesia telah menyatakan bahwa cryptocurrency, seperti Bitcoin bukan merupakan alat pembayaran yang sah dan karenanya dilarang penggunaannya untuk transaksi barang dan jasa (Bank Indonesia, 2018).

Larangan tersebut diperkuat oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 yang menegaskan bahwa Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) dilarang memproses transaksi menggunakan virtual currency. Pelarangan ini didasarkan pada alasan stabilitas sistem keuangan, perlindungan konsumen, dan pencegahan terhadap kejahatan keuangan.

2. Pengakuan Coin Digital sebagai Komoditas

Meskipun tidak diakui sebagai alat pembayaran, cryptocurrency diakui sebagai objek komoditas yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka. Hal ini diatur dalam Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 dan diperbarui dengan Peraturan Bappebti No. 8 Tahun 2021, yang menyatakan bahwa: “Aset koin digital adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk digital, menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar terdistribusi untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak ketiga.”

Legalitas perdagangan koin digital di pasar berjangka menunjukkan pendekatan akomodatif terhadap inovasi teknologi finansial (financial technology). Keberadaan regulasi ini dimaksudkan untuk melindungi investor serta memastikan adanya tata kelola yang baik dalam perdagangan aset digital.

3. Pertimbangan Yuridis dan Teoritis atas Dualisme Kebijakan

Dualisme antara pelarangan sebagai alat pembayaran dan pengakuan sebagai komoditas menunjukkan pendekatan hukum yang bersifat prudential (kehati-hatian). Negara mempertahankan otoritas moneter melalui eksklusivitas rupiah dalam transaksi pembayaran, namun membuka ruang inovasi ekonomi digital melalui instrumen pasar berjangka.

Dalam doktrin hukum ekonomi, pendekatan ini sejalan dengan prinsip “selective liberalization“, di mana negara memfasilitasi inovasi dengan tetap menjaga stabilitas sistemik dan kedaulatan moneter (Hadjon, 2005).

Hal ini juga mengacu pada prinsip dalam teori regulasi responsif (Responsive Regulation) sebagaimana dikemukakan oleh Ayres dan Braithwaite (1992), bahwa hukum harus mampu merespons dinamika sosial dan ekonomi melalui pendekatan yang proporsional dan berbasis risiko.

Kesimpulan

Pelarangan penggunaan koin digital sebagai alat pembayaran di Indonesia berlandaskan pada prinsip kedaulatan moneter dan perlindungan sistem pembayaran nasional. Di sisi lain, legalisasi aset koin digital sebagai komoditas menunjukkan keberanian regulatif dalam mengakomodasi perkembangan teknologi finansial global.

Untuk memperkuat posisi hukum dan memberi perlindungan lebih besar terhadap masyarakat, diperlukan harmonisasi antara otoritas moneter (Bank Indonesia) dan otoritas perdagangan (Bappebti) dalam menyusun kebijakan yang bersifat integratif, berkelanjutan, dan adaptif terhadap perubahan zaman.

Sumber : https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=1051

Scroll to Top