INTEGRASI LAYANAN ONLINE DISPUTE RESOLUTION (ODR) DI INDONESIA SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI PEMENUHAN HAK KONSUMEN DI ERA DISRUPSI

Kemudahan transaksi yang ditawarkan layanan jual beli online atau e-commerce di era disrupsi seperti sekarang tak lantas menutup fakta bahwa layanan berbasis online tersebut juga berpeluang besar pada terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen. Menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (sekarang telah berubah nomenklatur organisasinya menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital) melalui layanan CekRekening (cekrekening.id), terdapat sebanyak 572.000 aduan mengenai fraud sepanjang tahun 2017 hingga tahun 2024 dengan jenis penipuan didominasi oleh penipuan jual beli online, yakni sebanyak 528.415 aduan (Rochman, 2024). Kementerian Perdagangan juga menyoroti tingginya jumlah aduan konsumen terkait transaksi online pada layanan sistem perdagangan elektronik (niaga-el), yakni sebanyak 7.019 layanan atau menunjukkan 91 persen dari jumlah layanan konsumen yang diterima Kementerian Perdagangan selama 2023 (Kemendag RI, 2024). Aduan tersebut meliputi masalah pada isi ulang saldo, sistem pembayaran paylater, pengembalian dana, pembelian barang yang tidak sesuai kesepakatan, dan barang yang tidak diterima oleh konsumen. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) pun telah menerima 9.257 aduan konsumen selama rentang waktu tahun 2017 hingga 2024 (BPKN RI, 2024).

Online Dispute Resolution (ODR) merupakan alternatif penyelesaian sengketa berbasis Information of Computer Technology (ICT) sebagai bentuk pengembangan dari Alternative Dispute Resolution (ADR) guna mewujudkan layanan penyelesaian sengketa nonlitigasi yang terjangkau dan sederhana tanpa harus melakukan tatap muka secara langsung. Layanan ODR menjawab penyelesaian sengketa atas transaksi yang juga dilakukan secara online. Terdapat 3 (tiga) layanan menyangkut sengketa konsumen di Indonesia yang mengadopsi mekanisme ODR pada saat ini: CekRekening, SIMPKTN, dan SP4N-LAPOR. CekRekening merupakan layanan di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Informatika (sekarang Kementerian Komunikasi dan Digital) yang memungkinkan masyarakat untuk memeriksa suatu nomor rekening guna mencegah tindakan penipuan. SIMPKTN merupakan layanan pengaduan konsumen di bawah naungan Kementerian Perdagangan yang tergabung dengan aplikasi perizinan dan pendaftaran niaga. Adapun SP4N-LAPOR merupakan layanan penyampaian segala aspirasi maupun pengaduan masyarakat Indonesia (Kominfo, 2024). SP4N-LAPOR telah tersinkronisasi dan terhubung dengan 34 Kementerian, 96 Lembaga, dan 493 Pemerintah Daerah di Indonesia yang bertujuan meningkatkan koordinasi dan performa pelayanan publik serta merealisasikan kebijakan “no wrong door policy”.

Ketiga layanan tersebut menunjukkan upaya pemerintah dalam optimalisasi pemenuhan hak konsumen di era disrupsi. Akan tetapi, layanan-layanan ini tidak terintegrasi hingga menimbulkan tumpang tindih peraturan serta tugas pokok dan fungsi (tupoksi) alat kelengkapan negara. Lebih lanjut, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara eksplisit, jelas, dan komprehensif mengenai ODR di Indonesia. Layanan yang tidak terintegrasi dan belum memiliki dasar hukum mengikat dapat menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat terkait layanan yang sebaiknya digunakan sebagai langkah awal penyelesaian sengketa. Hal ini dapat diamati dari jumlah aduan yang diterima Kominfo terkait nomor rekening terindikasi penipuan sepanjang tahun 2017 hingga tahun 2024 yang mencapai 528.415 aduan (Rochman, 2024). Namun, selama periode waktu tersebut, BPKN hanya menerima sebanyak 9.257 aduan (BPKN RI, 2024). Fakta ini sangat disayangkan mengingat layanan CekRekening Kominfo hanya sekadar menghimpun nomor-nomor rekening yang bermasalah, sedangkan BPKN setidaknya dapat memberikan saran terkait penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh. Menimbang poin-poin sebagaimana diuraikan di atas, integrasi layanan-layanan ODR di Indonesia penting untuk dilakukan dengan disertai dasar hukum mengikat serta pengawasan dari pemerintah.

Layanan ODR di Indonesia

Integrasi layanan ODR di Indonesia dilakukan guna mendukung pemenuhan hak konsumen, mulai dari upaya preventif, pengaduan, tracking tindak lanjut, hingga upaya represif. Alangkah baiknya apabila keempat proses tersebut dapat diakses dalam satu layanan terpadu. CekRekening sebatas membantu konsumen dalam upaya preventif melalui pemeriksaan validitas nomor rekening dan melaporkan nomor rekening yang terindikasi maupun telah melakukan tindak penipuan. Layanan yang ditawarkan CekRekening sekadar layanan berupa aduan dengan sistem crowdsourcing yang menghimpun data-data dari pelapor untuk digunakan sebagai sumber informasi bagi pengguna lain—tidak ada tindak lanjut oleh pihak berwenang atas kerugian yang dialami konsumen. SIMPKTN telah memuat fitur pengaduan dan tracking tindak lanjut, tetapi tidak ada fitur yang mendukung upaya preventif sebagaimana halnya CekRekening. Pada sisi lain, SP4N-LAPOR tidak hanya berfokus pada penyelesaian sengketa konsumen, melainkan pada pelayanan penerimaan aspirasi bersifat umum yang menyangkut berbagai bidang kepentingan masyarakat. SP4N-LAPOR sebenarnya digadang-gadang menjadi cikal bakal ODR nasional sebagaimana termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2024 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen (Perpres STRANAS-PK) sebagai upaya pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dalam pengembangan sistem pengaduan online konsumen nasional yang terintegrasi antarkementerian maupun lembaga guna memudahkan konsumen menyampaikan aduan serta menjangkau konsumen di seluruh tanah air (Perpres STRANAS-PK, 2024). Sistem layanan aduan konsumen akan lebih efisien apabila diatur tersendiri dan dinaungi oleh badan yang berwenang di bidang tersebut, yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Penyusunan Undang-Undang ODR, Integrasi ODR dengan E-Commerce, dan Pemusatan ODR pada BPSK

Integrasi layanan ODR juga perlu diiringi dengan penyusunan undang-undang terkait ODR guna menjamin kepastian hukum, menghindari tumpang tindih peraturan, dan memudahkan masyarakat dalam menjangkau serta memahami layanan. Indonesia saat ini baru memiliki kerangka dasar hukum ODR, yakni Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alterntaif Penyelesaian Sengketa dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang pada intinya menyatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat dilakukan sesuai kesepakatan para pihak, termasuk kesepakatan penyelesaian melalui sarana berbasis ICT (Solikhin, 2023). Lebih lanjut, kerangka dasar hukum ODR juga merujuk pada Pasal 65 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan peraturan turunannya, yaitu Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE).

Belum ada peraturan khusus yang mengakomodasi dan menjadi dasar penyelenggaraan ODR di Indonesia. Pada praktek arbitrase, ODR diterapkan berdasarkan KEP: 20.015/SK-BANI/HU tanggal 20 Mei 2020 yang memuat peraturan berikut prosedur penyelenggaraan arbitrase secara elektronik—yang kemudian dengan ini BANI terbukti berhasil melangsungkan penyelesaian sengketa melalui metode ODR selama pandemi (Mauludin dkk., 2024). Adapun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) justru tidak memuat upaya perlindungan konsumen pada transaksi online. BPSK yang tugas dan wewenangnya diatur dalam UU Perlindungan Konsumen pun belum memiliki sistem ODR—saat ini hanya pada penerimaan aduan konsumen yang berbasis online, sedangkan penyelesaian sengketanya masih dilakukan dengan tatap muka secara langsung. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih lantaran jumlah BPSK terbatas. Masyarakat bisa saja harus merogoh pengeluaran lebih banyak untuk menuju lokasi BPSK yang kemudian makin terasa memberatkan ketika nominal kerugian yang dialami relatif kecil (Konsumen & Perdagangan, 2024). Lebih lanjut, tidak ada pihak yang mengawasi penjatuhan putusan penyelesaian sengketa pada sistem ODR di e-commerce, seperti Shopee dan Tokopedia—bahkan pemerintah pun tidak memegang kendali atas pengawasan dalam penjatuhan putusan ODR tersebut (Tanaya, 2023). Oleh karena itu, BPSK dapat menjadi jawaban dalam hal fungsi pengawasan apabila putusan ODR pada e-commerce merugikan dan/atau tidak memihak konsumen. Selaras dengan itu, Menteri Perdagangan mengatur bahwa penyelesaian sengketa konsumen di luar badan peradilan umum dilaksanakan oleh BPSK (Permendag Nomor 72 Tahun 2020 tentang BPSK, 2020). Hal ini menjadi legitimasi bagi konsumen yang bertransaksi melalui PMSE seperti e-commerce untuk mengajukan aduan berikut penyelesaian sengketanya ke BPSK. Menimbang alasan-alasan tersebut, BPSK selayaknya menerapkan ODR dengan proses terstruktur dari upaya preventif hingga represif yang memungkinkan masyarakat memiliki kemudahan akses. Selanjutnya, layanan ODR yang telah terintegrasi dapat dinaungi sekaligus dimonitori oleh BPSK selaku badan yang diamanatkan tugas dan wewenangnya secara langsung oleh undang-undang perihal penyelesaian sengketa konsumen, bukan dinaungi oleh berbagai kementerian dan lembaga sebagaimana termuat dalam Perpres STRANAS-PK. Kementerian dan lembaga memiliki tupoksinya masing-masing. Sengketa konsumen bukan fokus utama semua kementerian atau lembaga sehingga dikhawatirkan akan terjadi overlapping yang menghambat penyelesaian berbagai macam sengketa di masa mendatang.

Usulan Integrasi ODR di Indonesia

Usulan integrasi ODR di Indonesia apabila dirunut dari prosesnya yang dimulai dari upaya preventif, maka dalam hal ini dapat diterapkannya layanan Cekrekening guna memeriksa keamanan dan validitas suatu nomor rekening sebelum melakukan transaksi online. Upaya preventif perlu didukung dengan suatu peraturan yang mewajibkan pendaftaran terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan umum dalam lalu lintas elektronik, termasuk pendaftaran usaha-usaha elektronik (e-business) maupun e-commerce berupa virtual shops atau virtual services (Suparni, 2009). Pembentukan peraturan ini dapat membantu konsumen dalam memperoleh informasi resmi terkait segala hal yang berhubungan dengan transaksi online. Informasi yang diperoleh memberikan kapasitas bagi konusmen dalam mengambil langkah awal guna menghindari terjadinya pelanggaran hak konsumen. Pada tahap pengaduan dan tracking tindak lanjut, maka sistem yang telah diterapkan pada SIMPKTN dan SP4N-LAPOR dapat diadopsi dengan didukung suatu peraturan terkait kepastian waktu dalam proses tracking sehingga dalam hal ini terdapat legitimasi terhadap status sengketa konsumen. Selanjutnya, upaya represif dilakukan oleh BPSK yang layanannya telah terintegrasi dengan ODR. Konsumen hanya cukup mengakses ODR dan selanjutnya BPSK dapat segera memproses penyelesaian sengketa tersebut.

Sumber : https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=1002

Scroll to Top