EFISIENSI PENYELESAIAN BERKAS PERKARA MELALUI OPTIMALISASI ALUR KOORDINASI ANTARA PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM DALAM KUHAP

Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) ditegaskan bahwasanya Indonesia adalah negara hukum. Menurut Wiryono Projodikoro, negara hukum adalah negara di mana para penguasa ataupun pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan terkait pada peraturan hukum yang berlaku. Jauh dari pada itu, seorang filsuf terkenal pada masa Yunani Kuno, Aristoteles berpendapat bahwa negara hukum ialah negara yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Dalam hal ini, penerapan negara hukum yang berkeadilan tentu harus memiliki mekanisme penyelesaian tindak pidana yang efektif guna menjaga Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya oleh pelaku dan korban. Salah satunya ialah upaya untuk menerapkan asas contante justitie yakni asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam hukum acara pidana di Indonesia. Peradilan cepat terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim merupakan bagian hak-hak asasi manusia.

Rangkaian penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, peradilan dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah siklus dalam satu kesatuan yang saling berkesinambungan dalam sistem peradilan pidana atau integrated criminal justice system (sistem peradilan pidana terpadu). Sistem peradilan pidana sangatlah berkaitan erat dengan sistem hukum yang berlaku di sebuah negara. Hal ini dikarenakan sistem peradilan pidana adalah sebagai salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara meskipun memiliki karakter tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, budaya, dan politik yang dianut (Eddy, O.S Hiariej: 2015). Di Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan kodifikasi hukum acara pidana yang berlaku. KUHAP mengatur proses beracara pada perkara pidana dan juga menjelaskan pihak-pihak yang terlibat seperti penyidik, Penuntut Umum (PU), penasihat hukum (advokat), hakim dan lain sebagainya.

Definisi penyidik sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 angka (1) KUHAP, yakni “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang undang untuk melakukan penyidikan.” Dari penjelasan pasal mengenai penyidik di atas, dapat diketahui bahwasanya penyidik berasal dari instansi kepolisian atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi kewenangan oleh undang-undang. Selanjutnya, pada Pasal 1 angka (2) KUHAP dijelaskan mengenai peran dari penyidik yakni untuk mengumpulkan bukti tentang suatu tindak pidana yang selanjutnya akan diserahkan kepada PU. Dimulainya penyidikan ialah pada saat penyidikan sudah dilakukan upaya paksa, seperti pemanggilan, pro yustisia, pemeriksaan, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan lain-lain. Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) penyidikan dan penyelidikan dilebur menjadi satu, yakni penyidikan. Hal ini disebabkan anggapan bawah pada implementasinya penyelidikan dan penyidikan adalah satu kesatuan yang sama (Andi Hamzah, 2001:121).

Di sisi lain, sesuai dengan Pasal 1 angka (6) huruf b yang berbunyi “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.” Kemudian, peran PU dalam Pasal 1 angka (7) KUHAP menjelaskan bahwasanya PU bertugas melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri. Singkatnya, PU adalah jaksa yang diberi wewenang untuk berkoordinasi dengan penyidik (polisi) dalam pelimpahan Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) ke pengadilan. Meskipun memiliki tugas dan fungsi yang berbeda, tetapi penyidik dan PU dalam penyelesaian berkas suatu perkara akan kerap kali bekerja sama dan memiliki kesinambungan

Penyidik dan PU memiliki peran penting dalam tahapan awal beracara, mengingat kedua peran tersebut merupakan “gerbang depan” dari adanya proses pengadilan yakni investigasi awal dalam suatu perkara. Adapun proses peradilan dalam KUHAP secara garis besar dapat dibagi menjadi tindakan yang mendahului pemeriksaan di muka pengadilan yang terdiri atas tingkat penyelidikan/ penyidikan dan pada tingkat PU. Idealnya, ketika dalam proses penyidikan sudah terkumpul bukti-bukti yang menguatkan maka penyidik akan mengirimkan BAP kepada kejaksaan untuk kemudian Jaksa Penuntut Umum (JPU) melimpahkan ke pengadilan negeri. Selanjutnya, diadakan pemeriksaan dalam sidang pengadilan hingga terciptanya putusan pengadilan. Akan tetapi, pada realitanya sering terjadi permasalahan dalam proses pelimpahan berkas perkara dari penyidik ke PU. Pada tahapan ini, kerap kali terjadi berbagai macam hambatan yang menyebabkan lambatnya penyelesaian suatu berkas perkara.

Salah satu permasalahannya ialah bolak-balik berkas perkara antara penyidik dan PU. Kerangka yuridis mengenai pelimpahan berkas perkara penyidik ke PU diatur dalam Pasal 110 KUHAP yang menyatakan bahwa apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, maka wajib untuk segera menyerahkan berkas perkara ke PU. Kemudian, manakala PU berpendapat hasil berkas perkara tersebut kurang lengkap akan dikembalikan ke penyidik dengan diberikan petunjuk dari PU. Terakhir, penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. Akan tetapi, pasal ini memiliki kelemahan, yaitu tidak adanya kepastian hukum mengenai penetapan berapa kali penyerahan atau penyampaian kembali berkas perkara secara timbal balik dari penyidik ke PU maupun sebaliknya. Hal inilah yang membuat proses penyidikan berlarut-larut sehingga mengurangi efisiensi pelimpahan berkas perkara.

Permasalahan terkait adanya alur koordinasi yang kurang baik antara penyidik dan PU sehingga mengakibatkan terjadinya fenomena bolak-balik berkas perkara, tentunya akan menderogasi hak-hak dari korban maupun tersangka. Hal ini dikarenakan hak tersangka atau korban untuk mendapat kepastian hukum tidak segera terpenuhi. Secara umum, hambatan dalam koordinasi tersebut meliputi dua hal, yaitu hambatan internal dan hambatan eksternal (Harun, Hapni., Wantu, F.M., Rahim, I. E, 2023).  Hambatan internal disebabkan oleh adanya ketidakpastian hukum yang mengatur batas penyerahan dan pengembalian berkas perkara dari penyidik kepada PU sebagaimana yang diatur oleh KUHAP. Idealnya, RKUHAP mestinya memiliki kepastian hukum terkait berapa kali maksimal bolak-balik berkas perkara dari penyidik kepada PU ataupun sebaliknya. Hal ini menjawab kelemahan dari Pasal 110 KUHAP yang mengatur mengenai alur koordinasi pelimpahan berkas perkara penyidik dan PU di mana KUHAP hanya mengatur batasan hari maksimal pada tahapan penyerahan berkas perkara penyidik ke PU maupun sebaliknya. Sejatinya, hal ini merupakan upaya dalam menerapkan asas contante justitie yang baik.

Selanjutnya, hambatan kedua merupakan hambatan eksternal yang disebabkan oleh lemahnya koordinasi yang dibangun oleh kepolisian dan kejaksaan sehingga kerap kali tidak menemukan titik terang bagi penyelesaian berkas perkara. Pertama, penyidik sering tidak memahami petunjuk PU dalam berkas perkara yang dikembalikan. Untuk itu, diperlukan Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait petunjuk jaksa guna memiliki kejelasan prosedur, standarisasi, konsistensi dan efisiensi dalam memberikan petunjuk. Solusi ini menjawab kekhawatiran antara dua instansi tersebut terkait adanya inkonsistensi dan perbedaan standarisasi terhadap berkas perkara yang dilimpahkan. Memang sebenarnya ada syarat formil dan materiil yang harus dipenuhi penyidik sebelum melimpahkan berkas perkara kepada PU. Akan tetapi, harusnya hal tersebut juga diintegrasikan kepada jaksa selaku PU. Salah satu upayanya ialah petunjuk PU kepada penyidik harus disusun secara jelas dan rinci agar terciptanya alur koordinasi yang jelas dan efisien. Untuk mendukung hal ini, diperlukan adanya kesadaran akan tujuan bersama dalam menegakkan hukum yang berkeadilan agar menjadi dorongan nurani guna meredam ego sektoral yang juga menjadi penghambat adanya koordinasi yang efisien di ranah penyidik dan PU. 

Kedua, penyidik sering kali berkeluh lidah dengan PU terhadap perbedaan pendapat dalam perkara pidana. Contoh pada kasus yang melibatkan mantan Bupati Boalemo, Darwis Moridu yang melakukan penganiayaan terhadap korban Awis Idrus. Ada perbedaan pendapat mengenai apakah penganiayaan ini masuk pada kategori penganiayaan berat atau penganiayaan biasa. Perdebatan panjang penyidik dan PU hingga 5 kali atau lebih bolak balik berkas perkara. Hal ini membuat tidak efisiennya penyelesaian berkas perkara sehingga korban dan pelaku berada pada keadaan dilema yang jelas-jelas menderogasi HAM mereka. Oleh karena itu, KUHAP seharusnya mengakomodasi mekanisme lain kalau misalnya pada pelimpahan berkas perkara terjadi stagnasi. Solusinya ialah meminta bantuan untuk menafsirkan hukum kepada akademisi hukum pidana atau juga lembaga yang fokus pada hukum seperti Kementerian Hukum RI.

Tidak adanya kepastian hukum untuk menjawab kelemahan KUHAP dalam menangani bolak balik berkas perkara menyebabkan nasib seorang tersangka terkatung-katung. Tekanan mental, sanksi sosial, dan terampasnya HAM tersangka menjadi landasan utama bahwa pembaharuan KUHAP haruslah mampu untuk menjawab ketidakpastian tersebut. Prof. Andi Hamzah, pakar hukum acara pidana menyatakan bahwa efisiensi koordinasi penyidik dan PU adalah kunci mengatasi perbedaan persepsi hukum dalam pelimpahan berkas perkara. Asas contante justitie idealnya dapat diterapkan dengan baik untuk menjaga HAM bagi tersangka dan korban, dan juga mengembalikan kepercayaan publik terhadap penyelesaian perkara pidana oleh Aparat Penegak Hukum (APH). 

Oleh karena itu, dapat ditarik benang merah ada tiga upaya yang dapat dilakukan untuk menjadi solusi dalam mengatasi kelemahan KUHAP pada fenomena bolak balik berkas. Pertama, dalam KUHAP idealnya memiliki kepastian hukum terkait berapa kali maksimal bolak-balik berkas perkara dari penyidik kepada PU ataupun sebaliknya. Kedua, menerapkan SOP terkait petunjuk jaksa guna memiliki kejelasan prosedur, standardisasi, konsistensi dan efisiensi dalam memberikan petunjuk. Dan terakhir, ialah meminta bantuan untuk menafsirkan hukum kepada akademisi hukum pidana atau juga lembaga yang fokus pada hukum seperti Kementerian Hukum RI apabila ada stagnasi hukum pada berkas perkara.

Sumber : https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=985

Scroll to Top